Senin, 25 Oktober 2010

Naruto Shogi Battle (Episode 1)

Episode 1 : Announcement

Hari yang cerah

"U...Zu....Ma....ki.....Naruto Rendan!!!"
Dari kejauhan tampak terdengar suara Uzumaki Naruto, seorang shinobi asal Konoha, sedang berlatih salah satu jurus andalannya Naruto Combo di sebuah hutan di pinggiran Konoha. Tak seberapa jauh dari lokasi naruto berlatih combo-nya, tampak Hinata Hyuuga sedang memperhatikan pria yang dikaguminya selama ini, Uzumaki Naruto.

"Um.....Naruto-kun" desah Hinata pelan.
"Eeeergh!!!" Naruto tampak kaget mendengar namanya seperti dipanggil seseorang. Hinata yang takut ketahuan sedang mengintip Naruto latihan, langsung bersembunyi di balik semak-semak.
Sementara Naruto hanya celingukan sendiri mencari-cari sumber suara orang yang memanggilnya.

"Hee heee hee....Sedang apa kamu Hinata!?" Sebuah suara datang dari arah belakang Hinata.
"KYAAAAA!!" Hinata pun terkaget dan langsung pingsan.

15 menit kemudian

"Umm.....di mana aku?" Hinata bertanya dengan suara pelan, sambil mencoba membuka matanya perlahan-lahan. Dilihatnya dua orang pria, yang satu tentu saja uzumaki Naruto. Dan satunya lagi, seorang shinobi bertubuh gemuk yang juga sudah tidak asing lagi baginya, Akemichi Chouji.

"Chouji-kun!!!" teriak Hinata yang sepertinya marah pada Chouji karena sudah mengagetkan dirinya.
"Hngh...he..he..Ternyata Hinata tidak pernah mempergunakan Byakugannya ya kalau sedang mengintip Naruto" ejek Chouji dengan mata dan senyum bak setan kelaparan.

"Tentu sa......Ooops!!!" Hinata langsung membungkam mulutnya sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ingin meralat apa yang hendak dikatakannya tadi.
"Ehehehe....tidak usah menghindarlah Hinata!" seru Naru yang juga ikut-ikutan tersenyum setan seperti Chouji.
Tiba-tiba semak-semak tempat Hinata tadi bersembunyi dan beberapa pohon di sekelilingnya berjalan sendiri. Dan.....TUING!!!!

Olalala....Semak-semak dan pohon-pohon tersebut berubah jadi Naruto!
"Oey?? Kamu mempergunakan Bunshin dan Kawarimi untuk mengawasi sekitar ya Naru?" tanya Chouji.
"Ha....benar sekali! Hahaha...aku sengaja melakukannya buat menjebak Hinata yang suka mengintip waktu aku latihan!" seru naruto sambil tertawa penuh kemenangan.

"......" Hinata terdiam tanpa kata sambil (seperti biasa) menundukkan kepalanya dan tersipu malu.
Melihat bakal ada Stuckness of Conversation, Chouji langsung angkat suara dan menyampaikan sebuah pesan yang didapatnya dari Tsunade-Sama.
"Hinata Hyuuga, Uzumaki Naruto, dan aku sendiri Akemichi Chouji. kita bertiga dipanggil Tsunade-sama karena kita akan ditugasi sebuah misi penting. Kita diharap datang secepatnya ke kantornya."

"Apa?? Misi?? Yatta!! AKhirnya setelah sekian lama aku berlatih, dapet misi juga aku. Hinata, Chouji....iko!!!!" Naruto langsung berlalu begitu saja meninggalkan Chouji dan Hinata.

"Hinata....ikimasio!! (bah apa ini ya artinya /ohckck)"
"Hai!!" Hinata dan Chouji pun bergegas menyusul Naruto.

To Be Continued

The Banisher (Episode 1)

Laju tungganganku semakin kupercepat. Pedang di pinggangku pun seperti sudah tak sabar, ingin segera menebas sesuatu. Orang-orang di belakangku, para pengikutku, mereka juga berusaha mengimbangi laju tungganganku. "Tuan Vernonne.....kenapa kita harus terburu-buru seperti ini?" tanya salah seorang pengawalku dengan nada terengah-engah. "Diam kau!! Kau ini terlalu banyak mengeluh!!"...............

The Banisher.....itulah nama kelompok kami. Anggotanya ada 7 orang. Dan aku pimpinannya. Aku.....Vernonne Kysiliev, dari bangsa Onori, sama seperti keenam pengikutku. Setiap orang dari bangsa kami hanya menguasai satu macam elemen. Itulah kenapa kami disebut Onori....artinya minoritas. Ada bangsa lain, yang bernama Ajora. Mereka mampu menguasai lebih dari satu elemen.
Akan tetapi penguasaan mereka terhadap tiap-tiap elemen tidak sebaik kami. Bangsa Ajora adalah bangsa yang cerdas. Mereka mampu menutupi kelemahan penguasaan elemen mereka dengan kemampuan mengkombinasi elemen yang mereka kuasai menjadi sebuah serangan atau pertahanan yang kuat. Namun bangsa kami juga tak kalah. Tiap-tiap kami mampu bekerja sama satu sama lain untuk membuat kombinasi elemen yang sama dahsyatnya.

Tak terasa, kami sudah sampai di Desa Hanami, sebuah desa kecil yang katanya sedang diserang pemberontak. Aneh....tak satupun orang yang kami lihat di desa ini. Apa mereka semua sudah mati? Atau....jangan-jangan ini adalah jebakan? Entahlah....daripada penasaran, lebih baik kusuruh saja yang lain memeriksa. "Hey! Enak saja kau main perintah! Sekali-kali kamu donk yang kerja!".

Ckck.....seperti dugaanku.....Marrieta menolak. Cewek yang satu ini memang paling susah diatur. Paling sering ngedumel kalo dimintai tolong orang lain. Dan paling suka mendebati segala keputusanku.
Aku tidak pernah berdekatan dengannya. Itu karena kami adalah keturunan murni bangsa Onori. Seluruh tubuh kami mengandung elemen yang kami kuasai. Dan aku adalah pengguna api, sementara Marrieta pengguna es.

15 menit berlalu sudah, tapi 5 orang teman(pengawal)ku belum kembali juga. Untuk mengusir kebosanan, aku mulai memainkan permainan papan....Gions (yang belum saatnya kuceritakan apa dan bagaimana Gions itu bisa tiba-tiba muncul di depanku). Sesekali kutengok Marrieta, yang seperti biasanya, selalu bermain-main dengan kekuatannya...membekukan semua benda yang dilihatnya sambil ketawa-ketawa nggak jelas.

Tiba-tiba, sebuah benda panjang yang tajam melesat deras ke arahku. ZLEB!!....Fiuh, hampir saja mengenaiku. Untung saja aku memiliki kemampuan khusus yang bernama [GIONS SHIELD]. Semua peralatan Gions, baik batu maupun papannya berubah menjadi shield perlindungan yang kuat yang mampu menetralisir semua serangan fisik ke arahku secara otomatis, asalkan ada Gions di dekatku.

"Hey Marrieta, kau pingin bunuh aku ya!?"
"Hah! Habisnya aku bosan melihatmu memainkan permainan jelek macam itu! Weee...:P"
GRRR...Sudahlah, tak ada gunanya aku melayani dia. Hanya membuang waktuku saja. Pagar besi beku yang dilemparkan Marrieta ke arahku pun secara perlahan sudah dilumat oleh papan Gionsku. Jadi sudah tak ada ancaman lagi...dan Gions-gionsku segera kembali ke hadapanku.

30 menit sudah berlalu....Akhirnya lima orang teman(pengawal)ku kembali. Vionna Rise , Senna Amora , Jack Wonder , Hanoi Armburn , dan Haina Alstaire kembali dengan ekspresi yang seperti orang kebingungan. "Kami tidak menemukan siapa-siapa...." lapor salah satu dari mereka, wanita yang berpenampilan paling anggun, Vionna Rise.

Belum sempat Vionna menyelesaikan laporannya, tiba-tiba dari arah belakang Vionna, melesat sebilah belati berapi dengan kecepatan tinggi. T...tidak ada waktu lagi untuk bilang padanya. Terpaksa.....[GIONS SHIELD].....JLEB.....belati tersebut menancap mantap pada papan Gionsku. Vionna yang menyadari hal tersebut terlihat begitu kaget dan shock. Wajah manisnya menatap sayu ke arahku, dan ia terlihat gemetar.

Sudah kuduga ini jebakan. "Teman-teman, segera menyingkir ke belakangku! Dan tetaplah waspada!", perintahku pada yang lainnya. Mereka semua bergegas menuju ke belakangku dengan kewaspadaan tingkat tinggi. "Hei kalian yang sedang bersembunyi! Keluarlah! Dasar pengecut kalian semua!!!!". 5 menit....6 menit.....7 menit....butuh 7 menit untuk membuat mereka semua keluar. 12 orang musuh sudah muncul di hadapan kami

Satu di antara ke 12 orang tersebut, ada satu yang terlihat sangat kuat. Kurasa dialah pemimpinnya. Orang yang kuduga sebagai pemimpinnya mulai angkat suara, "Papan Gions....tapi kau bukan Vanon Kysilliev. Kau lebih muda darinya, dan wajahmu sangat mirip dia. Itu berarti kau anaknya kan!?".
"Siapa kau!? Bagaimana kau bisa tau ayahku!?", tanyaku dengan nada membentak.
"Bwahahaha!! Aku tak ada urusan denganmu.....mana ayahmu!? Aku ada urusan yang belum selesai dengannya!".
"Kau tidak perlu tau di mana ayahku!! Sekarang lawanmu adalah kami! Hadapilah kami!!".
Semangat bertarungku membara. Sebentar kutengok ke belakang, teman-temanku pun sepertinya sudah dalam keadaan siap tempur. Tapi, hanya ada satu orang.....Vionna. Dia tampak masih shock dan terlihat ketakutan. Matanya yang sayu, menatap kosong ke arahku.

"T..T..Tuan V..Vernonne...". Vionna memanggilku dengan suara yang lirih, sambil mata sayunya masih tetap menatap ke arahku. Argh!! Bagaimana ini? Kami harus menghadapi 12 orang musuh, dan kami juga harus melindungi Vionna di saat yang bersamaan. Seandainya saja [GIONS SHIELD] ku bisa lebih cepat menangkal belati berapi tadi, pasti..Vionna tidak akan menyadari bahaya itu dan kami tidak perlu menghadapi situasi ini.

(Bersambung)

Romance Over The Board (A New Chapter) Episode 1 - 4

Episode 1 : Kekalahan yang Memalukan

GO GO KAKU*….

Kata-kata itu yang terus terngiang-ngiang di benakku hingga saat ini. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya, hanya karena langkah yang sederhana seperti itu aku harus takluk pada gadis yang selama ini aku anggap remeh. Bagaimana aku tidak meremehkan dia? DOU HISHA* ku dibalasnya dengan HACHI HACHI GIN* dan membuatku yang selama ini sangat dikagumi banyak orang karena kejeniusanku, sekarang harus menanggung cemoohan dan hinaan karena aku takluk pada seorang gadis yang tidak terkenal sepertinya.

“Sensei sepertinya sedang mengalah tuh. Daijobu*, daijobu.”

“Bahkan seorang sekaliber dewa Shogi pun pasti pernah melakukan kesalahan. Nobody perfect.”

“Sensei sekalipun dia terlihat kelelahan, tapi tetap saja bermain bagus.”

Kalimat-kalimat menghibur yang terlontar dari ratusan bibir orang-orang yang turut menyaksikan kekalahan tragisku, bagiku serasa sebuah ejekan. Tiap orang memang bisa memiliki persepsi berbeda dari tiap kalimat. Separuh jiwaku serasa tenang karena masih banyak orang yang mempercayakan pengajaran Shogi kepadaku. Tapi separuh jiwaku yang lain tetap merasa tidak tenang. Sekalipun hanya sekali, sebuah kekalahan akan tetap diingat seumur hidup, terutama bagi orang yang kalah itu.

Satu minggu berlalu sudah sejak kekalahan tragisku.

Minggu, 25 Oktober 2015

Seperti Minggu biasanya, aku pergi beribadah bersama istriku pukul 06.00 pagi. Tidak banyak hal baru yang kudengar di sana. Seperti biasa, hanya cuap-cuap sang pengkotbah yang intinya sama seperti minggu-minggu sebelumnya. Tingkatkan iman, cintai Tuhan, cintai sesama, begitulah…..Aku lebih memilih menyibukkan diri facebookan dari BB murahanku, sambil tetap mendengar ceramah sang pengkotbah tentunya, walau hanya samar-samar.

Selesai ibadah aku dan istriku tidak lekas pulang ke rumah dan lebih memilih menikmati sarapan pagi di kantin Gereja kami.

“Pah, mama lagi pengen makan sate **b* nich. Kita sarapan di kantin yuk. Sekalian ngobrol-ngobrol sama jemaat-jemaat yang laen.”

Begitulah ajakan istriku, yang pastinya bakalan ngambek kalo aku tolak. Makanya, walaupun aku terpaksa tapi tetap saja aku turuti permintaan istriku. Dan walaupun istriku tau aku mengiyakan ajakannya dengan terpaksa, tapi tetap saja dia tidak kasian padaku dan mengurungkan ajakannya.

“Halo Pak Novan, apa kabar? Saya dengar anda kalah dari seorang gadis ya minggu lalu? Pasti anda mengalah supaya semangat gadis itu untuk bermain Shogi tetap tinggi kan? Anda Mulia sekali ya… ^^”

Ya Tuhan…..itu lagi yang dibahas T_T

(To be Continued)

*Go Go Kaku = Kaku / Bishop ke petak 5-5
*Dou Hisha = capture piece lawan yang baru saja dimainkan dengan Hisha
*Hachi-hachi Gin = Gin / Silver ke petak 8-8
*Daijobu = tidak apa-apa / tidak masalah / no problem


Episode 2 : Istriku

Daripada menjawab sebuah pertanyaan yang menurutku lebih cocok dikatakan sebagai ejekan, lebih baik aku duluan ke mobil, meninggalkan istriku yang masih asyik dengan teman-temannya. Entah ngobrol entah menggosip, atau bahkan mungkin saja menggosipkan suaminya sendiri karena sudah kalah memalukan.

Istriku sama seperti kebanyakan orang-orang lain. Dia sangat mendukung aku dalam hal Shogi karena selama ini aku selalu bisa bawa uang yang banyak buat dia, hasil dari kemenanganku di tiap turnamen atau mengajar. Bagi dia proses menjadi seorang Master Shogi, latihan untuk terus berkembang dan semakin menjadi kuat bukanlah hal yang penting. Jelas dia tidak peduli bagaimana susah payahku waktu masih muda dulu untuk berlatih Shogi setiap hari hanya demi bisa menjadi kuat dan membuat orang lain menjadi kuat. Yang penting aku bisa membawa uang banyak setiap kali pulang, tidak peduli dari menang turnamen atau hasil dari mengajar. Anda mungkin tidak mau membayangkan bagaimana akan mengomelnya istriku kalau aku pulang hanya dengan tangan hampa. Ya begitulah istriku. Salah pilih atau tidak, bagaimanapun dia tetap istri yang sudah aku pilih sebagai pendamping hidupku. Aku tidak menyesal sama sekali telah menikahinya.

Lima menit sudah aku menanti istriku di mobil, tapi tidak juga dia menyusulku ke mobil. Maka kuputuskan untuk menelponnya.

“Halo Ma! Papa sudah tunggu di mobil nich! Ayo dong buruan, Papa kebelet pipis nih!”, kataku mencari-cari alasan supaya istriku cepat kembali ke mobil.

“Iya Pa! Bentar, ini lagi dicariin kembalian!”
“Aduh! Emang berapa sich kembaliannya!? Udah ikhlasin aja! Itung-itung sekalian kita nyumbang ke mereka juga kan!?”
“Ya gak bisa gitu dong Pah! Itu kan rejeki kita! Papa mesti belajar menghargai pemberian Tuhan dong! Biar kata cuma seratus perak patut disukuri!”

“What the…..seratus perak pun masih saja dikejar. Dasar hamba uang!”, makiku dalam hati.
Akhirnya aku kembali ke kantin Gereja sambil memasang muka yang cemberut dan menggerutu. Istriku yang melihat mukaku yang cemberut hanya bisa memberikan senyuman dan kedipan mata. Wah aku tau artinya itu. Istriku mengajakku main Shogi habis ini.

Meskipun istriku tidak terlalu suka dengan Shogi dan mendukungku hanya karena aku selalu bawa uang banyak dari Shogi, tapi setidaknya dia masih mau menyempatkan diri berlatih hanya demi bisa menyenangkan hatiku. Walaupun aku tau dia berlatih Shogi bukan untuk mendalami Shogi tapi hanya agar bisa bermain bersamaku. Kadang di saat aku sedang kesal dan mangkel, “membantai” istriku dalam permainan Shogi adalah obat yang mujarab untuk mengembalikan moodku. Anda mungkin akan menilai saya tidak berperikemanusiaan. Tapi setidaknya istriku tidak pernah mengeluh soal itu kepadaku. Tidak, secara lisan.

Episode 3 : Adam Iskandar Kisei

Hari Minggu siang yang panas. Sebenarnya aku ingin menagih janji istriku yang katanya ingin melayaniku dengan bermain Shogi melawanku, namun entah kenapa aku lebih memilih untuk ke klub saja bermain melawan yang jauh lebih tangguh dari istriku. Ketika aku mengutarakan niatku untuk ke klub dan membatalkan janji main shogi berdua, kulihat ekspresi istriku biasa-biasa saja. Tidak ada kesan sedih atau kesal. Tandanya dia hanya ingin menyenangkanku saja dan bukan niat bermain dengan tulus.

Sempat terpikir beberapa kali olehku untuk menceraikan dia. Tapi aku tidak mau media jadi heboh karena persoalan ini. Akhirnya kuurungkan saja niatku untuk menceraikan dia. Sadis bukan? Ya biarlah, itulah resiko kalau menikah karena dipaksa.

“Hohoho! Sang master telah tiba!”, begitulah sambutan Awaludin sang pemilik klub begitu melihatku tiba.

“Apa kabar?”, tanyanya ramah.
“Baik!”, jawabku dengan ketus.

Tanpa mempedulikan ekspresi wajah sang pemilik klub yang sedikit kecewa dengan jawaban ketusku, akupun langsung melangkah masuk lebih dalam ke klub sambil mencari-cari lawan bertanding.

Dari kejauhan kulihat di meja nomor 36 sesosok makhluk yang sudah tidak asing lagi sedang bermain sendiri. Dia adalah Adam Iskandar Kisei, yang akrab dipanggil Dracoleugen. Sudah pasti dia sedang menanti lawan, namun apakah dia menyangka aku yang akan menjadi lawannya hari ini?

“Dam!!”
“Oh tidak!! Salip!!!! Tidak kusangka lawanku hari ini Salip! Meijin yang kalah dari seorang gadis!”

S....sial orang ini. Tidak hanya karena dia masih saja memanggilku dengan Salip yang diadaptasi dari nama Slippe, usernameku di forum Shogi Internasional, tapi karena dia selalu saja mengungkit-ungkit kekalahanku dari gadis misterius itu.

“Mau main!?”, tanyaku dengan muka yang agak ketus.
“Pasti! Aku akan kalahkan kamu kali ini! Supaya media berfikir bahwa kekalahanmu dari gadis misterius itu jadi virus dan menyebabkan kamu kalah beruntun di pertandingan-pertandingan berikutnya! Fufufufu!!!”

Tanpa banyak basa-basi lagi kutarik kursi dan duduk lalu mulai menyusun bidak Shogi ke posisi awal.
Selalu saja rasa damai ini menyergapku entah dari mana. Rasa damai ini selalu kurasakan setiap kali aku mendengar suara bidak Shogi yang bertatap dengan papan. Jernih sekali suaranya. Bagiku kejernihan suara ini mampu mengusir rasa kesal dan emosiku serta mampu mengobati kekecewaan-kekecewaanku selama ini. Suara bidak Shogi juga mampu mengembalikan moodku yang sering tidak stabil apabila sedang bosan.

Episode 4 : Amadea

Saat aku hendak melangkahkan bidakku pada langkah pertama, tiba-tiba aku merasa ada sosok yang tidak asing lagi berdiri di belakangku. Gadis itu!! Gadis misterius yang sudah mengalahkanku minggu lalu itu sedang berdiri di belakangku menatap ke arah papan permainan kami!

“K….kau!!”
“Amadea. Namaku Amadea. Panggil saja aku Dea….”, ujarnya setengah berbisik di telingaku.

Entah kenapa ada yang aneh dengan gadis ini. Ini adalah pertemuan kedua kami, namun serasa kami sudah sering bertemu dan sudah saling mengenal. Dea menarik lenganku dan mengajakku pergi entah ke mana. Sambil berlalu pergi kulirik ekspresi Adam yang melongo seperti orang kebingungan.

“Hey mau dibawa ke mana saya!?”, bentakku sambil mencoba melepaskan tanganku yang ditarik-tariknya dari tadi. Gadis ini cengkeramannya kuat juga. Aku bisa saja melepaskan diri, tapi biarlah aku ingin tahu ke mana gadis ini akan membawaku.
“Nanti kamu juga akan tau!”, sahutnya.

Kami sudah berjalan sekitar 30 langkah jauhnya dari klub Shogi Awaluddin. Namun kami masih terus berjalan entah ke mana. Lampu merah demi lampu merah kami lewati. Trotoar demi trotoar kami jalani.

Akhirnya kami berhenti di depan sebuah bangunan tua. Di hadapan kami berdiri sebuah pintu tua yang gagangnya sudah berkarat. Dea membuka pintu itu dengan mantab, dan mempersilahkan aku masuk duluan.

“Silahkan masuk….”
“Baiklah!!”

Setelah masuk kusempatkan mataku untuk menyapu pandang setiap sisi di ruangan asing yang baru saja kumasuki itu. Kulihat atap gedung ini banyak sekali sawang-sawangnya. Lantainya juga hanya terbuat dari traso. Sementara dindingnya sudah kusam catnya. Belum lagi karena bangunan ini tidak tertembus sinar matahari dan lampu penerangan di dalamnya sudah memudar, membuat suasanan di ruangan ini seperti di film horror.

“Kenapa tidak terawat sekali ruangan ini?”, tanyaku pada Dea.
“Jangan banyak tanya! Kita sudah ditunggu dari tadi! Ikuti saja aku!”, jawab Dea setengah membentak.

Ditunggu? Siapa yang menungguku? Jangan-jangan istriku lagi. Daripada penasaran sendiri, lebih baik kuikuti saja gadis aneh itu. Nanti pasti aku juga akan tau.